Resya’s Weblog

Pencurian Kayu Pengambilan hasil hutan umumnya adalah jenis kayu, baik kayu balok maupun bantalan (scarlog), yang secara ilegal sudah jauh masuk kedalam kawasan taman nasional. Kondisi ini dipicu oleh tingginya permintaan kayu dan harga yang cukup tinggi di pasaran, serta lemahnya pengawasan yang dilakukan aparat terkait. Pekerjaan yang relatif berat ini kebanyakan melibatkan mereka yang masih berusia muda dan kuat fisiknya, dan yang berusia tua lebih banyak menyadap karet. Kegiatan bebalok yang mengarah ke taman nasional umumnya menggunakan akses jalan darat, yakni jalan logging bekas HPH yang diperbaiki kembali. Ada juga yang menggunakan akses sungai untuk angkutan kayu. Mobil angkutan kayu, umumnya jenis truk, dapat dengan mudah memanfaatkan bekas jalan milik HPH, hingga masuk ke dalam taman Dalam prakteknya, kayu-kayu yang ditebang dari dalam hutan ditarik secara manual oleh tenaga manusia (“ongkak”) dan juga dengan memanfaatkan tenaga kerbau yang menarik kayu hingga ke jalan besar, atau ke tepi sungai.

TOGU Simorangkir tak pernah lupa suatu peristiwa yang berlangsung di pertengahan 2001. Kala itu, sebagai salah satu staf divisi antipenebangan liar Camp Leakey di kawasan Taman Nasional Tanjung Puting (TNTP), Kalimantan Tengah, ia dan salah satu asisten dengan enam polisi bimbingan masyarakat, dikepung sekitar 150 penebang liar bersenjata parang dan golok.

Salah ucap atau salah sikap sedikit saja, senjata tajam jawabannya. Namun, dengan sisa keberanian dan argumentasi, mereka akhirnya selamat dari wajah-wajah sangar itu.

Selama dua minggu, Togu trauma. Bersama 50-an staf Camp Leakey yang bergerak dalam riset dan
perlindungan orangutan Kalimantan (Pongo pygmaeus), mereka bergantian berjaga dari kemungkinan serangan. Deru mesin speed boat atau perahu kelotok yang bising di hari gelap, selalu membuat mereka waswas.

Togu, yang kini sebagai Sekretaris Eksekutif Yayasan Orangutan Indonesia (Yayorin), mau tidak mau belajar menggunakan sumpitan, senjata tradisional Suku Dayak, untuk membela diri. “Entah berapa sandal jadi korban latihan,” kenang dia tertawa.

DENGAN pendekatan persuasif yang kontinu, tanpa menghakimi dan frontal, perubahan pola perilaku menebang kayu di hutan-hutan mulai terjadi.

Menurut Togu, sebagian di antara penebang yang dulu turut mengepungnya, sekarang justru bekerja di Camp Leakey, sebagai asisten peneliti. Ada juga yang bergabung sebagai polisi antipenebangan liar dan penambangan liar yang diupah Orangutan Foundation International (OFI).
Menurut cerita Taufik, salah satu mantan penebang kayu ilegal yang kini berhenti menebang, keterlibatannya dulu karena ikut-ikutan.
Saat itu, para pendatanglah yang menebangi kayu di taman nasional. Namun, warga desa Tanjung Harapan yang selalu dituduh menebangi kayu.
“Daripada hanya dituduh, lebih baik kami ikut sekalian,” kata sekretaris desa Tanjung Harapan di kawasan TNTP itu.

Kini, tak satu pun warga yang terlibat dalam penebangan liar. Mereka kembali bekerja sebagai peladang, seperti dulu. Mereka juga membuat barang-barang kerajinan tangan dan dijual di pondok kayu di tepi Sungai Sekonyer.

Mantan aktivis-aktivis penebangan liar itulah, yang kini turut aktif mengajak teman-temannya untuk tidak merusak hutan. Solusinya hanya satu, lapangan pekerjaan.

Menurut Togu, dulu polisi antipenebangan liar dan penambangan liar di bawah OFI digaji antara Rp20.000 hingga Rp50.000 per bulan, sesuai masa kerja. Jumlah itu di luar jatah makan sehari-hari.
Hasilnya, sejak 2001 tak terlihat lagi aktivitas pengangkutan kayu hasil penebangan liar melalui Sungai Sekonyer menuju Teluk Kumai, Pangkalan Bun, Kalteng. Tahun sebelumnya, ratusan kubik kayu meranti (Shorea sp) dan ramin (Gonystylus bancanus) diangkut siang malam, setiap hari.
Sebagai dampak ikutannya, saw mill-saw mill liar yang dulu menadah kayu ilegal dan beroperasi di sekitar Teluk Kumai, kini tak terlihat lagi.

Pada kunjungan beberapa wartawan di TNTP melalui Sungai Sekonyer di utara TNTP, awal bulan Agustus 2004 lalu, tak satu pun batang kayu terlihat dihanyutkan di sungai. Di pinggirnya, yang tampak adalah pos-pos polisi antipenebangan liar. Hanya saja, penambangan emas tanpa izin masih beroperasi di bagian hulu.

Menurut salah satu aktivis perlindungan hutan dan orangutan yang telah belasan tahun bergerak di Kalteng, Zaqie, kondisi penebangan liar di sebagian TNTP memang telah berhenti. Bahkan, ia menjamin 90 persen kawasan TNTP yang berada di wilayah Kabupaten Kotawaringin Barat, bebas dari penebangan liar.

SELAIN sebagai tempat tumbuhnya aneka jenis spesies flora TNTP juga sebagai habitat orangutan Kalimantan yang terancam punah. Populasi orangutan di seluruh Kalimantan diperkirakan tinggal 58.000 ekor. Sedang orangutan Sumatra (Pongo abelii) diperkirakan tinggal 7.000 ekor.
Kampanye dan gerakan melindungi hutan, merupakan salah satu jalan yang dapat melindungi orangutan dari kepunahan. Setiap tahun, diperkirakan seribu orangutan berkurang dari habitatnya.
Penebangan liar memang hanya salah satu ancaman yang harus dihentikan untuk melindungi orangutan dan flora/fauna lainnya, selain kebakaran hutan, perburuan, dan konversi lahan, seperti pembukaan perkebunan kelapa sawit.

Kabar baik yang mulai berembus di Kalimantan adalah rencana polisi memerangi penebangan liar. Adalah Kepala Kepolisian Daerah Kalimantan Barat Brigjen Nanan Soekarna, yang baru-baru ini mempertemukan para tokoh masyarakat, pengusaha, dan kepala daerah membahas rencana menanggulangi penebangan liar.

Provinsi Kalbal selama ini memang dikenal sebagai surga penebangan liar. Ribuan meter kubik kayu diseberangkan ke Malaysia, baik melalui pintu lintas batas Entikong, atau “jalan tikus” lainnya.
Sangat tidak masuk akal, bila ada pejabat pemerintah daerah atau polisi yang tidak mengetahui siapa tokoh di balik aktivitas yang menghasilkan uang miliaran rupiah itu.

Hampir di sepanjang ruas jalan lintas utara yang menghubungkan Kabupaten Kapuas Hulu dengan Kecamatan Badau, Kalbar, kayu-kayu gergajian menumpuk di tepi jalan. Truk-truk dengan leluasa mengangkut kayu-kayu tersebut di depan mata polisi.

Langkah konkret polisi memberangus penebangan liar seperti rencana di Kalbar telah ditunggu lama, demi keutuhan hutan dan fungsinya. Kalau akhirnya semua itu tinggal rencana, haruskah kewenangan hukum diberikan kepada aktivis pencinta orangutan? (GSA)

Jon Afrizal – The Jakarta Post/Jambi. Illegal logging and forest fires have contributed to the deforestation of around 50 percent of Berbak National Park.

While it is protected land, the 162,700 hectare park which is located east of the provincial capital of Jambi, here — has been subject to widespread illegal logging since the reform era began in 1998.
Timber traders from outside the area approached resident, of the 28 villages that buffer the forest and collaborated with local brokers to persuade them to log.

Chain saws sounded day and night, as prized timber trees, such as ramin, jelutung and meranti, toppled to the ground.
Hundreds of paths were made to transport the logs via the river or rails. They started in the villages and made their way deep into the heart of the forest, which had been named a protected area by former president Soeharto on Oct. 19, 1992.

The loggers identified and removed e oldest trees, those measuring around 60 centimeters in diameter and 20 meters tall. Now, most trees in the park are 30 cm in diameter on average.

Also, the area that stretches along Berbak River is prone to forest fires. An estimated 30,000 hectares of forested area has been destroyed every dry season since 2001.

As a result, the ecosystem of the area has suffered. Numerous species of flora and fauna have vanished, for example, the rare orchids of the lowlands that relied on the trees; the arwana fish, which can grow to 90 cm in length and 20 cm wide; and the long-snouted sinyolong and muara crocodile species.

Sumatran tigers (Sumatrae panthera tigris), of which there were between 50 to 70 in the area a few years ago, now number around 30 or 40. As their habitat has been encroached upon, these “kings of the jungle” have been forced to venture as far as the villages in search of food. The tigers, which are proficient swimmers, even reached villages located across Berbak River, which is 300 meters wide in places.

Since 1998, five people have been killed in four tiger attacks on humans in the area.
Executive director of non-governmental organization Pinang Sebatang, Husni Thamrin, told The Jakarta Post recently that the government should cooperate with locals to save their environment.

“The residents should be involved, because they are the ones who suffer the floods, which have occurred over the past five years due to the damaged catchments area,” he said.

So far, the government has been unwilling to accept the port would be to first improve the standard of living in the villages. That way, offers of easy money through illegal activity would not be so tempting, he said.
The organization is currently working to improve conditions in seven of the villages around the national park: Sungai Aur, Sungai Rambut, Air Hitam Laut, Sungai Benuh, Simpang Datuk, Sungai Gelam II and Pematang Rawas.
Heads of families are grouped together to farm land, with each group comprising 10 people.

The groups are provided with seedlings, such as rice, chili, soybean and corn, which they cultivate on land that has been left idle since 1998. Each family head generally owns a two to five-hectare plot.

After suffering floods every year, the residents have finally come to the realization that farming, which they once abandoned, is a more fruitful and less damaging practice than logging.

The organization has also helped local residents’ plant ramin, jelutung and meranti trees on a 30-hectare area within the national park since 2003.

“Our achievements are just one step toward conservation, but the people are willing. They feel that they own the forest and have made efforts to preserve it,” said Husni.

Nana Rukmana and Rusman – Cirebon/Samarinda. West Java’s Cirebon legislative council has asked local authorities to stop the shipments of illegal logs at the city’s port, which have continued unhindered for the last three years.

Councilors accused certain government and security officials of backing the crime, which they said cost the state up to Rp130 billion (US$14.4 million).
“Based on our calculations, the state losses caused by the illegal activity reach billions of rupiah. We want the police to take firm action against them immediately,” council speaker Suryana said on Saturday, accompanied by deputies Soenaryo HW and Haries Sutamin.
Suryana said a council investigation showed at least 60 ships, mostly from Kalimantan, loaded and unloaded illegal logs at the Cirebon port every month.

“This means about 2,160 ships entered Cirebon for the last three years,” he added.
He said if Rp45 million to 60 million in bribes for unauthorized loading and unloading, state losses would be between Rp97.2 billion and Rp129.6 billion.

Suryana said the ships involved in the illegal shipping activities each had a capacity of at least 500 cubic meters. “What stuns us is that the activities have continued for a long time and law and security authorities appear to have ignored them,” he said.

The investigation also found that bribery of port officers was rife, he added.
“The cargo is already illegal, in addition to the rampant collection of bribes there. This strengthens our suspicions that corruption is unchecked at the port,” Suryana said.

He said the council had sent a letter to the National Police, the West Java Police and the Cirebon Police last May asking them to stop the illegal activity in the city.

“However, none of them have responded to our request,” he said.
Cirebon Police Chief Adj. Sr. Comr. Siswandi said on Saturday they were following up on the council’s findings, but declined to comment further.

Meanwhile, East Kalimantan Governor Suwarna AF said on Saturday he would attend a meeting on Aug. 4 in Malaysia to discuss the issue of illegal logs imported from Indonesia.

During the Malaysia-Indonesia socio-economic meeting in Sabah, Suwarna said he would ask Malaysia to help fight illegal logging by banning the use of illegal logs from East Kalimantan.

He said the government had repeatedly urged Malaysia to take action against its nationals involved in illegal logging in Indonesia, but it had not received a positive response.

On Friday, Nunukan Regent Abdul Hafied Achmad blamed the widespread illegal logging partly on the government’s relaxed policy of issuing logging permits to those clearing land for oil palm plantations in East Kalimantan.

Concession holders only felled trees and sold them directly to Malaysia, then abandoned the land that had allegedly been cleared for plantations, he said.

“We have notified the East Kalimantan Forestry Office not to issue any more logging permits for companies without the necessary capital to invest in oil palm plantations,” he said.

An estimated 25,000 hectares of forest areas have been damaged as a result of the lax licensure policy. The area of the regency measures 13,841 square kilometers.

Hafied said the provincial administration should be held responsible for the forest destruction. “The authorities have not taken any action against companies stealing logs,” he said.

The regent said forest destruction could also cause social unrest among people who had been recruited by the plantations, as their employment never materialized.

East Kalimantan Forestry Office head Robian said the office had received the Nunukan regent’s request to place the issuance of logging permits under tight control.

“We will observe the situation of several companies granted permits before taking any action against them,” he said.

JAKARTA, KOMPAS — Terbitnya peraturan pemerintah pengganti undang-undang yang mengatur hukum acara penanganan kasus penebangan liar (illegal logging) tidak menjamin bahwa masalah penebangan liar akan dapat diberantas. Persoalan utama bukanlah pada hukum acaranya, tetapi pada kesungguhan dan kemampuan aparat penegak hukum untuk menegakkan hukum.

“Tidak ada jaminan illegal logging bisa diberantas. Saya kira siapa pun tidak bisa menjamin itu. Tetapi saya tidak apriori terhadap keinginan untuk menerbitkan perpu (peraturan pemerintah pengganti undang-undang) itu, karena setiap menteri dapat mengambil prakarsa, tetapi pada akhirnya keputusan ada pada presiden,” tutur Menteri Kehakiman dan Hak Asasi Manusia Yusril Ihza Mahendra, Kamis (26/8) di Istana Negara, seusai mendampingi Presiden Megawati Soekarnoputri mencanangkan aksi nasional HAM Indonesia tahun 2004-2009 dan pembukaan lomba keluarga sadar hukum tingkat nasional tahun 2004.

Menurut Yusril, untuk menangani penebangan liar cukup dengan menerapkan peraturan perundang-undangan yang telah ada. Apalagi tindak pidana penebangan liar adalah tindak pidana biasa, bukan tindak pidana yang harus diperlakukan secara khusus seperti korupsi. “Sebenarnya dengan menerapkan hukum yang ada sudah cukup, tetapi kalau dianggap masih kurang efektif, silakan saja,” katanya.

Sebelumnya, Menteri Kehutanan M Prakosa menegaskan, perpu tentang penebangan liar diperlukan untuk memberantas penebangan liar sebab, dengan hukum acara yang ada, sulit untuk menangkap cukong dan otak pelaku penebangan liar. Dengan perpu tersebut, diharapkan hukum acara untuk menangani kasus penebangan liar menjadi lebih singkat dan langsung berada di bawah koordinasi Menteri Kehutanan. Rancangan perpu tersebut saat ini masih berada di Sekretariat Negara, belum ditandatangani oleh presiden.

Retroaktif
Menurut Yusril, bila perpu tentang penebangan liar diterbitkan, sebaiknya tidak mencantumkan pemberlakuan asas retroaktif (berlaku surut). Sebab, asas retroaktif hanya dapat diterapkan pada kejahatan HAM berat. “Asas retroaktif hanya dapat diterapkan pada kejahatan kemanusiaan yang berat. Kalau perpu itu menggunakan asas retroaktif, akan menyimpang dari ketentuan hukum pidana. Karena, illegal logging itu tindak pidana biasa,” ujarnya.

Dalam rancangan awal perpu tersebut, selain asas retroaktif, juga ditetapkan ketentuan penangkapan tersangka dapat dilakukan hanya dengan informasi dan intelijen, tidak perlu bukti-bukti kepolisian. Selain itu juga diterapkan asas pembuktian terbalik. (ELY)

PONTIANAK, KOMPAS — Rencana operasi pemberantasan terhadap aksi penebangan liar di Kalimantan Barat sering bocor sehingga upaya pemberantasan penyelundupan dan penangkapan cukong kayu menjadi tidak optimal. Kondisi ini sekaligus menjadi tantangan bagi polisi agar sebelum melakukan operasi penertiban lebih dulu menertibkan aparatnya sendiri.

“Penegakan hukum harus tetap dilakukan, tetapi pembersihan internal di jajaran kepolisian juga harus dilakukan,” ungkap Direktur Reserse dan Kriminal Kepolisian Daerah (Polda) Kalimantan Barat Komisaris Besar Heru Setiawan mewakili Kepala Polda Kaliamantan Barat Brigjen (Pol) Nanan Soekarna pada acara Strategi Implementasi Pedoman Penanggulangan Tindak Pidana Penebangan secara Tidak Sah di Kalimantan Barat, Senin (23/8).

Menurut Heru, akibat bocornya rencana operasi, maka saat polisi datang ke lokasi tidak ditemukan kegiatan apa-apa. Bukan cuma cukong dan pekerja kayu yang tidak ada, barang buktinya pun dihilangkan.

Ketika polisi kehabisan dana operasi dan menghentikan upaya penertiban, mereka kembali melakukan kegiatan penebangan liar dengan sokongan dana dari cukong-cukong kayu.

Sekarang, sesuai dengan kebijakan Kepala Polisi Jenderal Polisi Da’i Bachtiar kepada Kepala Polda Kalbar, setiap anggota polisi yang terlibat dalam kegiatan ilegal, khusus illegal logging (penebangan liar), akan ditindak tegas,” ujarnya

Heru mengungkapkan, selama tiga pekan terakhir, polisi di jajaran Polda Kalbar mengungkap 78 kasus penebangan liar dengan 76 tersangka. Dan jumlah itu, Kabupaten Ketapang menduduki urutan pertama dengan 50 kasus dan Kabupaten Sanggau 10 kasus.

Koordinasi dinas kehutanan
Sementara itu, Kepala Dinas Kehutanan Kalbar Tri Budiarto menyebutkan, pihaknya dalam waktu dekat juga akan melakukan koordinasi dengan dinas-dinas kehutanan di kabupaten se-Kalbar langkah ini sangat penting karena Dinas

Kehutanan Provinsi Kalbar sekarang tidak memiliki kewenangan menghukum aparat dinas kehutanan kabupaten yang diduga terlibat melakukan kegiatan penebangan liar.

“Harus diakui, di lingkungan dinas kehutanan juga tidak semua bersih. Tetapi, jika semua lembaga memiliki komitmen kuat untuk membantu Polda Kalbar menertibkan illegal logging, pembersihan internal di masing-masing dinas kehutanan di daerah juga harus dilakukan,” tandasnya.

Dalam sesi tanya jawab, Janting, warga dan Lanjak, Kabupaten Kapuas Hulu, menyebutkan, kepolisian seharusnya tidak lagi melihat masalah penebangan liar di Kalbar hanya sekadar masalah ekonomi.
“Masalah ini sudah menyangkut kedaulatan negara. Karena itu, sangat lucu kalau seorang cukong kayu bernama Apeng yang sejak Juli 2002 dinyatakan Polres Kapuas Hulu sebagai orang yang masuk daftar pencarian orang karena memasukkan alat-alat berat dan Sarawak ke Kapuas Hulu, sampai sekarang tidak bisa ditangkap,” ungkapnya. (FUL)

SUKABUMI, RABU – Populasi elang jawa di Taman Nasional Gunung Halimun-Salak (TNGHS) kian terancam punah menyusul kerusakan kawasan hutan lindung akibat adanya penebangan liar yang dilakukan masyarakat.

“Saat ini populasi elang jawa yang ada tercatat sebanyak 19 ekor dan sebelumnya mencapai 200 ekor,” kata Petugas Pengendalian Ekosistem Hutan di Kawasan Tanaman Nasional Gunung Halimun Salak (TNGHS), Dede Nugraha, Rabu (19/3). Menurut dia, menyusutnya populasi burung yang dilindungi pemerintah itu disebabkan tanaman hutan yang dijadikan sumber makanan menepis bahkan beberapa titik menghilang akibat adanya penebangan liar.

Saat ini, jelasnya, elang jawa yang ada hanya tersebar di daerah Cikaniki, Blok Wates dan Gunung Endut sekitar kawasan hutan lindung TNGHS. Oleh karena itu, pihaknya bersama petugas polisi hutan secara berkala terus melakukan monitoring keberadaan elang jawa, sehingga satwa langka itu tidak terancam punah.

Hingga saat ini, berdasarkan hasil monitoring di lapangan hanya sebanyak 19 ekor burung elang jawa yang masih berkeliaran di kawasan hutan konservasi TNGHS. Akan tetapi, satwa langka itu hingga sekarang belum juga berkembang-biak karena adanya kerusakan kawasan hutan taman nasional itu.

Ia mengatakan, untuk mencegah kepunahan elang jawa di kawasan hutan Gunung Halimun-Salak, maka pihaknya selain melakukan pengamanan ketat juga memberikan sosialisasi dan penyuluhan kepada masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan hutan konservasi. Kawasan hutan lindung TNGHS yang meliputi tiga Kabupaten yakni Lebak, Bogor dan Sukabumi, banyak satwa spesies yang dilindungi pemerintah. Misalnya, elang jawa, owa abu-abu, macan tutul, dan lainnya.

“Kami meminta masyarakat jangan sampai terjadi pemburuan satwa-satwa langka karena akan merugikan anak cucu kita,” ujarnya menambahkan. Sementara itu, Kepala Seksi Pengelolaan TNGHS wilayah Kabupaten Lebak, Pepen Rachmat, mengemukakan bahwa hingga saat ini spesies elang yang ada di hutan konservasi terdapat sebanyak 16 jenis, diantaranya elang jawa, elang hitam, elang alap-alap nipon, elang brontak, elang perut karet, elang alap-alap tikus, elang besar laut, dan elang alap-alap jawa.

“Spesies elang tersebut tetap dimonitor petugas, agar tidak terjadi kepunahan,” katanya.



 Kerusakan lingkungan kembali menuai bencana. Banjir yang melanda tiga kabupaten di Kalimantan Selatan, kabupaten Tanah Laut, Tanah Bumbu dan Kotabaru, pada pertengahan Juni lalu diduga akibat penambangan batubara di kawasan hutan dan maraknya penebangan liar. Akibat banjir produksi listrik di Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Asam-asam anjlok dan ribuan warga menderita.


Penebangan kayu di Kalimantan Selatan mulai marak tahun 1970-1980-an, tiga kabupaten tersebut dijadikan sebagai tempat pesta tebang kayu oleh pemegang HPH. Pembalakan belum selesai, pertambangan batubara ilegal mulai marak tahun 1985, bahkan sampai merambah kawasan hutan. Aktivitas tersebut membuat area tangkapan air rusak dan akhirnya mengakibatkan banjir. Hutan yang semakin kritis dan banyaknya bekas lubang tambang yang dibiarkan menganga juga menjadi salah satu penyebab berkembangnya nyamuk anopheles, pembawa malaria Di Kalimantan Selatan, serangan malaria dalam 5 bulan terakhir membuat 20 orang meninggal.

Setelah pertambangan merambaha kawasan hutan di Kalimantan Selatan, saat ini sekitar 61.707 hektar hutan lindung di kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan terancam penambangan emas. Sebagian besar kawasan eksplorasi adalah kawasan hutan lindung yang berfungsi sebagai daerah tangkapan air untuk daerah aliran sungai.

IlegAL

Posted on: April 4, 2008

Sejumlah kayu illegal yang ditahandi Markas Polda Metro Kalbar memerlukan pengusutan tuntas. Foto Dok Pontianak,- Pemandangan lain terlihat di lapangan olahraga Markas Polisi Daerah Kalbar sepekan terakhir. Suasananya yang biasa lengang mendadak menjadi sumpek. Sejumlah truk berjejer bersama tumpukkan balok kayu di area jogging track, yang biasa digunakan para atlet untuk pemanasan sebelum bermain sepak bola. Apa gerangan terjadi? Genderang perang terhadap illegal logging rupanya sedang dikumandangkan Kapolda Kalbar yang baru Kapolda Kalbar Brigjen Pol Nanan Soekarna. 48 jam usai dilantik, sang jenderal polisi langsung menangkap enam truk kayu tak berdokumen di daerah Wajok. “Pemberantasan illegal logging harus menjadi komitmen bersama, masyarakat juga harus ikut membantu polisi, sehingga upaya ini dapat berjalan terus, karena kalau tidak ada apa?,” kata Nanan kepada tim liputan minggu yang menemuinya. Dalam memberantas illegal logging, tegas Kapolda, dirinya tak segan untuk menindak tegas anggotanya yang “bermain mata” dengan para cukong kayu ilegal. Karena itu, kapolda meminta masyarakat Kalbar ikut mengawasi penertiban illegal logging yang dilaksanakan oleh semua jajaran. Bahkan, Nanan juga mengancam akan mencopot jabatan Kapolres yang tidak mengindahkan instruksinya soal illegal logging. “Saya sudah jelaskan, saya tidak main-main dengan komitmen saya,” tegasnya berulang-ulang. Secara intern, lanjutnya, Polres-Polres juga ditekankan untuk terus mengawasi peredaran kayu yang masuk maupun keluar daerah kewenangannya.”Di Sanggau hingga saat ini sudah menangkap 10 truk kayu. Subuh tadi (kemarin) Sintang juga telah mengamankan 13 ribu kubik kayu. Begitupun untuk daerah Ketapang,” tukasnya. Gebrakan yang dilakukan seorang pimpinan aparat keamanan-yang memang bertugas menegakkan hukum-seperti Nanan tersebut, tentu patut diacungi jempol. Karena yang demikian nyaris tak terdengar sebelum-sebelumnya. Pernah ada Wanalaga-tim dari Polri-dengan tugas khusus melibas kayu haram, hanya kelanjutnnya smapai sekarang tak jelas. Padahal, LSM, mahasiswa, masyarakat sudah sering bersuara lantang menginginkan pemberantasan illegal logging di Kalbar. Praktik kayu illegal di daerah ini wajar untuk dicemaskan. Berdasarkan catatan Konsorsium Anti Illegal Logging (KAIL) Kalimantan Barat, setiap tahun tak kurang sekitar delapan ribu meter kubik kayu olahan asal Kalbar diselundupkan ke Sarawak, Malaysia. Kayu-kayu itu, kata Koordinator KAIL Darmawan Liswanto, hampir dipastikan sebagian berasal dari kegiatan illegal logging di daerah Kalbar yang makin tidak terkendali dan berlangsung setiap hari. “Maraknya penyelundupan kayu ilegal itu baru terhitung dari Pos Pemeriksaan Lintas Batas Entikong dan Badau. Sementara, selain melalui laut, di perbatasan darat Kalbar sepanjang 870 kilometer ada banyak jalan meloloskan kayu ke negeri jiran tersebut,” paparnya. Sementara, Pemprov pernah secara resmi melaporkan pengangkutan kayu lewat laut dari daerah Sambas perbulan mencapai seratusan lebih kapal. Lolosnya kayu Kalbar mencapai hampir satu juta meter kubik per tahun ini juga dibenarkan Kepala Dinas Kehutanan Kalbar Tri Budiarto. “Saya kira ini sudah menjadi rahasia umum. Sebab, selain hasil pemantauan langsung sejumlah pihak di kawasan perbatasan Kalbar-Sarawak, juga bisa dibuktikan beberapa penelitian, studi kasus, investigasi yang dilakukan peneliti dan kalangan lembaga swadaya masyarakat berkaitan dengan aktivitas illegal logging,” jelasnya. Besarnya angka penyelundupan kayu yang merupakan sumber malapetaka maraknya praktik illegal logging itu tentu sangat mencemaskan. Secara logika, idealnya membawa barang dengan volume besar secara tak sah tersebut bukanlah perbuatan gampang. “Kalau tidak dilakukan secara bersama jelas tak akan bisa,” cibir mahasiswa yang pernah memergoki kayu haram di Pelabuhan Pontianak beberapa waktu lalu. Tapi, Kepala Kantor Wilayah IX Bea dan Cukai Kalbar Teguh Indrayana, membantah pasokan kayu ke Sarawak dari Kalbar yang melalui PPLB Entikong merupakan kayu hasil tebangan liar. Menurutnya balok yang melintas di perbatasan tersebut sudah dilengkapi dokumen. “Kalau tak ada surat menyuratnya pastilah akan Kami tahan,” tukasnya meyakinkan. Kepala Badan Perencanaan Pembangunan Daerah (Bappeda) Kalbar Ir Nyoman Sudana, mengatakan masalah illegal logging sebenarnya sudah merupakan kejahatan yang sifatnya antar negara. Jadi disini, ujarnya, bukan hanya Kalbar melainkan atas nama Pemerintah Indonesia berperan mengatasinya. “Malaysia memang juga harus ikut membantu. Jangan mentang mereka diuntungkan lantas diam saja. Akhirnya Kalbar yang menanggung akibatnya karena hutan mengalami kehancuran,” ungkap Ketua Komisi B DPRD Kalbar Syarif Abdullah Alqadrie SH. Sekretaris Masyarakat Perhutanan Indonesia (MPI) Kalbar, Ir Gusti Hardiansyah MSc QAM, menuturkan Perpu Nomor 1 Tahun 2004 yang merupakan perubahan atas UU Nomor 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan harus mengatur lebih jelas perihal hukuman bagi pelaku illegal logging. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999, memang sudah diatur hukuman denda sebesar Rp 100 juta bagi oknum aparat yang terlibat. Tetapi, dia menilai hukuman tersebut terlalu ringan dan tidak akan memberikan efek jera bagi oknum aparat untuk bermain. “Dalam perpu itu kalau tidak salah memang hukuman dendanya sebesar Rp 1 miliar. Ini lebih besar daripada yang diatur UU Nomor 41 tahun 1999 yang hanya Rp 100 juta. Tetapi, kita minta agar hukuman penjara dan hukuman badannya yang lebih berat. Kalau disitu kan hanya 5 tahun,” pintanya. Upaya memberantas illegal logging tak ubah seperti buah simalakama. Kokohnya lingkaran setan dalam praktiknya sehingga membuat pemerintah kewalahan. Dan bahkan ini diperparah lagi karena mereka yang bertugas untuk memberantasnya justeru ikut terlibat. Sementara hutan semakin menipis dan kondisinya terancam.

  Pengirim:
haven
Beberapa bulan berselang aku pulang ke kampung bundaku menjenguk sanak-famili yang sudah belasan tahun tak berjumpa.
Sungguh mengagetkan, sudah kubelalakkan mata menandai persimpangan masuk jalan ke rumah, simpang itu tak ketemu-ketemu juga. Mobil travel yang mengantar sudah dua kali bolak-balik melewati simpang yang sama.
Akhirnya sang sopir setengah kesal berujar; “Mas, jalan masuk ke rumah sendiri kok nggak tahu?! Tanya tuh sama orang”. Mobil dihentikan.
Dari jauh kulihat seseorang melambai-lambaikan tangannya. Eh, rupanya pamanku yang sudah tua berdiri disana di pinggiran jalan.
Segala-galanya berobah sudah. Tak satu pun tanda pengenal belasan tahun yang silam yang tinggal.
Sepanjang jalan dipenuhi rumah-rumah ‘mewah’.
Pelan-pelan setelah beberapa hari di rumah kutemukan jawaban dari lagu ‘Kemarau’;

Mengapa, mengapa hutanku hilang dan tak pernah tumbuh lagi?.

Disini jawabannya ternyata: sudah diganti dengan rumah-rumah ‘mewah’.

Duhhhhh……waktu seakan secepat kilat berlalu.

Mei 2024
S S R K J S M
 12345
6789101112
13141516171819
20212223242526
2728293031